Senin, 10 September 2018
Aku, seorang gadis yang
terlahir sebagai anak ke 2 dikeluarga Sembiring dan ibu boru purba. Aku memiliki
2 saudara, dan keduanya adalah laki-laki. Menjadi anak perempuan satu-satunya
menuntut aku untuk mandiri dalam hal pekerjaan rumah. Ya meskipun di keluarga
kami gotong royong dan kerja sama adalah yang utama, namun tak bisa dipungkiri
tuntutan sebagai anak perempuan akan lebih besar dalam hal pekerjaan rumah. Orang
bilang manjadi anak perempuan satu-satunya seperti aku saat ini pasti
dimanjakan oleh kedua orang tuanya. Aku tak memungkiri hal itu, namun
dikeluarga kami tak ada pembeda-bedaan anak laki-laki dan perempuan dalam hal
kasih sayang. Anak tetap anak. Semua sama. Aku dan kedua saudara ku bukan orang
yang selalu bisa romantis seperti hubungan persaudaraan orang lain diluar sana.
Tak jarang kami bertengkar, beradu pendapat bahkan hal sekecil apapun bisa menjadi
awal keributan. Namun, orang tua kami selalu mengajarkan kalau saudara tetaplah
saudara. Mau bagaimanapun tak ada yang dapat memutuskan hubungan kami. Aku dan
ibuku juga tak seperti hubungan ibu dan anak diluar sana yang selalu bisa akur
dalam segala hal. Tak jarang pula kami beradu pendapat hingga terkadang terjadi
sediki perlawanan. Namun, kasih saying kami tak berkurang sedikitpun karena hal
tersebut. Bapak, pria nomor satu yang ada dalam hatiku hingga saat ini, kami
pun tak jarang beradu pendapat. Banyak hal yang mungkin aku lakukan namun tak
berkenan di hati bapak. Sebagai boru satu-satunya, aku tau dia akan memikirkan
dan melakukan apapun yang terbaik untukku.
Hidup berpisah atap seja SMA
hingga saat ini membuat aku banyak kehilangan waktu dengan mereka. Aku tak tahu
apa yang terjadi pada mereka saat aku tak dirumah. Mereka pun juga demikian
terhadapku. Namun dibalik semua itu, dengan memanfaatkan kemajuan teknologi
saat ini, kami selalu menyempatkan diri untuk berkomunikasi baik via panggilan
suara maupun panggilan video. Namun ini lah hidup. Setia manusia memiliki
kehidupan dengan proses masing-masing. Tulisan ini aku buat tepat saat aku
ingin melepaskan status mahasiswa ku, saat aku hendak memperoleh gelar
sarjanaku yang sesungguhnya adalah milik mamak dan bapak. Gelar ini
kupersembahkan untuk mamak dan bapak yang sudah sangat berjuang untukku hingga
saat ini. Gelar ini mungkin melekat di belakang namu ku, namun sesungguhnya ini
adalah sepenuhnya kepunyan mamak dan bapak. Trimakasih mak, pak buat semua
usaha, pengorbanan dan kasih sayang kalian hingga saat ini. Trimaksih sudah
berjuang untuk kami. Trimakasih juga untuk Ua Dika juga adek Deo yang selalu
mendorong memberi semangat dengan cara kalian masing-masing. Tanpa kalian aku taka
da apa-apanya.
Semarang, September 2018
Sembiring, Enika
;;
Subscribe to:
Postingan (Atom)